Labirin ini lagi. Batin Ale. Sambil menghela napas, ia menyusuri labirin yang sudah tidak asing baginya. Labirin ini, labirin rumah sakit.
Alegra sang gadis mengidap penyakit leukimia. penyakit yang susah di sembuhkan. Ale sudah terbilang lama menempati rumah sakit ini. Sudah sejak kecil ia berada di rumah sakit ini untuk penyembuhan. Tetapi belum ada hasil hingga kini.
Rumah sakit sudah seperti rumah sendiri bagi Ale. Karena ia selalu berada di rumah sakit. Awalnya ia merasa bosan. Tapi kini ia sudah terbiasa. Apalagi fasilitas rumah sakit jaman sekarang sudah seperti mall-mall di pusat kota. Dan yang paling bikin Ale seneng, disana ada perpustakaan!
Ale menghabiskan waktunya dengan membaca buku atau membacakan cerita untuk anak-anak yang sedang sakit di kelas 1 dan 2. Itu sangat menyenangkan bagi Ale. Lebih baik menghabiskan waktunya dengan membacakan buku dari pada menyesali penyakit yang di deritanya ini.
Hari ini juga Ale akan membacakan cerita seperti biasa. Ia bergegas ke perpustakaan. Di perpustakaan sudah ada Ibu Irla sang penjaga perpustakaan. Ketika melihat Ale, ia langsung mengeluarkan sebuah buku dari laci mejanya.
“Ini baru datang buku baru dari pusat, tentang dongeng untuk anak-anak. Mereka pasti akan sangat senang jika dibacakan buku ini, Ale.” Ujar Ibu Irla dengan senyuman khasnya.
Dengan senang hati Ale mengambil buku yang di sodori Ibu Irla. Seratus Burung Kertas. Itu judul yang tertera di halaman depannya. Covernya pun sangat simple, hanya langit biru membentang yang di bawahnya berserakan seratus burung kertas. Di halaman belakang baru terlihat lebih jelas. Cover belakangnya tergambar seorang gadis yang di sampingnya berserakan banyak sekali burung kertas dan di sebrangnya terdapat seorang pemuda yang nampaknya enggan untuk menoleh.
‘dari covernya saja sudah kelihatan jalan ceritanya,’ batin Ale. Namun sepertinya buku ini menarik. Covernya saja sudah sangat menarik, mungkin isinya juga lebih menarik daripada ini.
“Buku ini sebenarnya sudah ada sejak seminggu yang lalu. Teapi ada seorang pemuda meminjamnya. Sepertinya ia sangat tertarik. Pemuda itu sangat tampan. Namun sayangnya kakinya patah. Nampaknya ia terpukul. Tiap hari wajahnya muram.” Cerita Ibu Irla. Ale hanya matut-matut saja.
Malang sekali pemuda itu. Pasti ia sangat terpukul menyadari kakinya kini tidak bisa digunakan untuk berjalan atau bermain bola dan basket yang menjadi favorit anak laki-laki. Tapi toh itu kan hanya sementara. Nantinya juga pasti bisa sembuh. Nggak seperti Ale ini.
Setelah berbincang-bincang sedikit dengan Ibu Irla, Ale berpamit dan keluar dari perpustakaan. Ia melirik ke jam tangan pemberian ayahnya saat berulang tahun yang ke-15. Sudah pukul 11! Anak-anak pasti sudah menunggu Ale! Ale segera mempercepat langkahnya.
KREEEEK. Ale membuka pintu ruangan kelas 1 dan 2. Dan ketika ia masuk.., “KAAAAAK ALEEEEEEEEEE..!!!!” suara anak-anak bergemuruh dimana-mana. Lalu di susul dengan, “lama banget sih kak! Ngapain aja? Tumben kakak telat,” ujar Namira yang sangat suka nyablak.
“Iya..iya maaf.. tadi kakak ngobrol dulu sama Ibu Irla. Dia bawain buku baru nih.. nah sekarang, ayo duduk di tempat masing-masing!” perintah Ale dengan lembut. Dan segera di turuti oleh anak-anak dengan cepat. Dan.. Ale pun mulai membacakan cerita.
“Pada suatu hari, di Negeri Bintang, hidup seorang putri cantik dari Kerajaan Marfagh bernama Kyrani. Hampir semua pria jatuh hati pada putri Kyrani, tapi bagaimana pun juga, hati putri Kyrani tetap tertambat pada satu pangeran dari Kerajaan Elimay. Fraisma. Namun cinta putri Kyrani bertepuk sebelah tangan.. pangeran Fraisma selalu dingin terhadap putri Kyrani..” Ale menarik napas sejenak, ‘baru awal mula aja udah melankolis gini..’ batinnya. Lalu melirik sejenak ke anak-anak yang sedang menunggu-nunggu kelanjutan ceritanya. Pandangan Ale tertuju pada Alif dan Mala yang saling pandang, kayaknya ada sesuatu diantara mereka. Aduh masih kecil aja udah cinta-cintaan, ckck.. lalu Mala mengalihkan pandangannya sambil menghela napas pasrah. Wah udah gawat nih kalo begini ceritanya. Bisa di amuk sama mamihnya Mala nih kalo seandainya Mala mewek gara-gara cerita ini.
“Mau di lanjutin atau ganti cerita aja?” Tanya Ale. Takut takut ada yang nggak suka ceritanya.
“Lanjuuuuuuuuuuuuuuuuuut…” sahut anak-anak kompak. Waduuh jadinya Ale nyeritain dengan setengah hati deh. Bisa gawat kalo anak-anak pada mewek gara-gara dengerin cerita yang di bacain Ale. Memang sih ceritanya memang rada-rada sedih. Katanya Ibu Irla aja, dia sampe nangis. Waaaaah berarti parah dooong? Ale menggigit bibir. Lalu melanjutkan ceritanya.
“Lalu untuk menghilangkan kepenatannya, Putri Kyrani berjalan-jalan di tengah-tengah kota. Di tengah-tengah perjalanan, ada seorang pria tua memberikannya setangkai bunga mawar putih kesukaannya lalu berkata, “buat seratus burung kertas lalu satu permohonanmu akan terkabul. Tetapi permohonan itu harus datang dari lubuk hati yang terdalam.” Pria itu berlalu begitu saja setelah mengucapkan kalimat itu dengan senyum tersungging di bibirnya.
“Putri Kyrani segera kembali ke Kerajaan dan memikirkan kata-kata pria tua tadi. Tanpa pikir panjang, Putri Kyrani membuat seratus burung kertas agar dapat memohon satu permintaan. Dan ia memohon agar dapat bersama dengan Pangeran Fraisma. Seandainya tidak bisa, ia hanya ingin mengetahui perasaan Pangeran Fraisma kepadanya. Sehari setelah Putri Kyrani memohon, Pangeran Fraisma datang ke kamar Putri Kyrani dan menyatakan cintanya. Dia juga meminta maaf karena sudah bersikap seperti itu kepada Putri Kyrani. Selama ini dia hanya malu saja. Dan mereka hidup bahagia selamanya.” Ale menarik napas lega. Anak-anak tidak ada yang menangis, dan ceritanya juga sangat menakjubkan.
Merasa ini sudah waktunya untuk anak-anak tidur siang, Ale berpamit dan menutup pintu ruangan kelas 1 dan 2. Baru berjalan sedikit, Namira memanggil namanya, “Kak Ale!”
“Ya, Namira ada apa?” Tanya Ale lembut sambil mengusap kepala Namira.
“Tadi ceritanya seru sekali! Terima kasih ya kak!” ujar Namira sambil memperlihatkan senyum manisnya. Bikin Ale seneng banget!
“Oh iya sama-sama sayang.” Balas Ale. “Emm, oh iya Namira, kamu tau nggak ada apa antara Alif sama Mala?”
“Oh itu, Mala katanya suka sama Alif, kak. Tapi Alifnya ya gitu. Cuek. Tapi kata Rama, Alif juga suka sama Mala. Cuma di pendem aja.” Cerita Namira polos. “Eh kak, kok ceritanya sama ya? Wah seru niiiih,” Namira girang sendiri.
“Hush ah dasar kamu. Yaudah gih sana tidur dulu, nanti dimarahin mama,” ujar Ale sambil menuntun Namira ke kamarnya.
Ya ampun anak sekecil ini udah ada rasa yang kayak gitu? Ale aja baru tau tuh. Nggak kebayang kadinya Indonesia gimana. Ini sih kayaknya gara-gara nonton sinetron tiap hari ngikutin ibunya. Ckck ada ada aja.
Merasa malas ke kamarnya, Ale berniat jalan-jalan di taman sebentar. Ale mendekati tempat favoritnya di taman ini. Di bawah pohon rindang yang sejuk tentunya. Eh ternyata di tempat favoritnya sudah ada cowok yang duduk dengan wajah muram. Pasti ini yang dibilang Bu Irla.
“Hey,” sapa Ale pada cowok itu.
“Siapa kamu?” tanya cowok itu. Aduh nggak sopan banget sih!
“Ale.” Jawab Ale sambil berusaha tetap tersenyum. “Kamu siapa?”
“Bima.” Ale Cuma ngangguk-ngangguk.
“Kamu udah baca ini?” Tanya Ale sambil menunjukkan buku yang tadi baru dibacakannya.
“Udah.” Singkat banget sih jawabnya! Bikin Ale kesel aja!
“Kalo kamu seandainya mau bikin burung kertas, permohonan kamu apa?” Tanya Ale.
“….” Bima nggak jawab. Malah kayaknya merenung.
“Yaudah kalo nggak mau jawab. Aku aja yang cerita. Kalo aku bikin seratus burung kertas, aku Cuma mau aku sembuh. Itu aja.” Mata Ale menerawang ke langit yang hari ini lagi cerah banget.
Bima nampaknya kaget. Baru sekali ini dia ketemu cewek yang ‘make a wish’-nya kayak gini. Biasanya kan kalo cewek make a wish pasti langsung tentang cowok lah, atau bisa shopping lah, ya yang semacam itu deh. “Memangnya kamu sakit apa?” Bima berusaha nggak terlihat terlalu dingin ke Ale.
Ale menoleh lalu menjawab, “Penyakit yang susah di sembuhin,” Ale menarik napas sebentar lalu meneruskan, “Leukimia.”
Bima terlihat sangat kaget. Dia nggak tau lagi mau ngomong apa. Bima Cuma bisa diam. “Kenapa? Kaget? Simpatik? Ngga apa-apa kali. Akunya juga biasa-biasa aja kan? Hahaha udah biasa kali orang kayak gitu ke aku.” Ale nampaknya bisa membaca gerak-gerik Bima.
Bima tersenyum kepada Ale. Saat itu juga dia sadar, Ale perempuan yang berbeda. Lalu tiba-tiba sebuah kertas terbang dan mendarat di sebelah Ale. Lalu, Ale mengambilnya dan melipat-lipatnya kadi sesuatu. Bima Cuma bisa ngeliatin aja.
Dan, POOFF! Dalam waktu sesingkat itu, sebuah burung kertas berwarna putih (karna kertas brosurnya putih) ada di tangan Ale. “Nih, buat kamu,” Ale menyodorkan burung kertasnya pada Bima. Dan langsung di terima oleh Bima.”makasih.” ujarnya. Lalu mereka diliputi keheningan yang mendalam.
“Apa itu.. sakit?” suara lembut Ale memecah keheningan.
“Apa?” Bima memerhatikan gerak-gerik mata Ale yang tertuju pada kakinya. “Oh ini, nggak sih. Cuma ya.. susah aja kalo mau jalan harus pake tongkat. Terus nggak bisa main bola kayak dulu. Padahal aku hobi banget.” Tatapan Bima menerawang.
“Tapi bisa sembuh kan?”
“Kata dokter kemungkinannya 50% tapi dokter juga masih kurang yakin.” Jawab Bima.
“Pasti bisa kok!” sahut Ale yang setengah teriak. Membuat Bima terlonjak kaget.
“Bisa sih, tapi kalo aku deket sama kamu terus kayak tadi, bisa bisa penyakitku berubah jadi jantungan.” Ujar Bima setengah becanda.
“Maaf deh Maaf,” kata Ale sambil nyengir. “Kalo kamu berusaha, pasti bisa sembuh!”
Bima ngangguk-ngangguk aja. Dan dalam waktu ber jam-jam mereka terus bercanda tawa dan menghabiskan waktu bersama. Tidak terasa ini sudah jam tujuh malam. Ibu pasti sudah menunggu Ale. Ale dan Bima berjanji akan bertemu lagi besok. Entah di kamar Ale, kamar Bima, atau taman ini lagi.
TOK. TOK. TOK.
Ale membukakan pintu. Ini sudah jam delapan pagi. Entah siapa yang mengunjunginya pagi ini. Ketika ia membuka pintu, “BIMAA!!”
Ternyata Bima. Hari ini Bima akan menemani Ale membacakan cerita. Bima menatap ke sekeliling kamar Ale, sangat penuh dengan burung kertas. Sangat berserakan dimana-mana.
“Kamu.. bener-bener niat ya bikin seratus burung kertas?” Tanya Bima sambil mengambil sebuah burung kertas berwarna hijau. Warna favoritnya.
“Ya.. siapa tau aja bisa kejadian. Lagian aku Cuma ingin sembuh. Itu aja kok.” Jawab Ale. “Gimana kakimu?”
“Udah rada mendingan. Yang sebelah udah bisa jalan. Jadi tongkatnya juga Cuma aku pakai sebelah.” Tutur Bima yang dijawab ‘ooooh’ oleh Ale. “Gimana, udah siap? Kapan kita berangkatnya nih? Udah nggak sabar..”
“Iya ayo sekarang juga bisa langsung berangkat kok..” Ale mengamit lengan Bima yang sebelah kanan. Bermaksud untuk menuntunnya.
Sesampainya di sana, Ale dan Bima langsung disambut oleh anak-anak seperti biasa. Tetapi sekarang ada pertanyaan plus, “Siapa ini kak? Pacar kakak?” yang hanya di jawab senyuman dari Bima maupun Ale.
Saat Ale membacakan cerita pun, tatapan Bima terfokus pada Mala dan Alif. Dan juga burung-burung kertas yang berserakan di jendela ruangan ini. Tepatnya di sebelah kasur Mala. Selesai Ale membacakan cerita, Bima menceritakan semuanya ke Ale. Ale pun menghampiri Mala dan Bima menghampiri Alif.
“Halo, Mala..” sapa Ale. “wah burung kertasnya bagus.. ini buatan kamu?”
“Iya kak..” jawab Mala malu-malu.
“Mala mau kayak Putri Kyrani?” Tanya Ale sambil mengelus lembut rambut panjang Mala.
“Iya..” ujar Mala polos. “Mala mau Alif nggak jutek lagi sama Mala. Itu aja.”
“Kenapa nggak Mala coba aja ajak Alif ngobrol? Siapa tau dia pendiam gara-gara Malanya nggak pernah ngajak ngobrol, iya kan?” hibur Ale. Nampaknya sih berhail, soalnya Mala langsung menghampiri Alif dan mengajaknya ngobrol. Dan mereka seperti teman lama yang dipisahkan, lalu bertemu kembali begitu saja. Seperti sudah saling mengenal sebelumnya.
Ale keluar dari ruangan itu. Di luar Bima sudah menunggu.
“Anak kecil sekarang juga udah ngerti kayak gituan ya Le?” ujar Bima sambil cengengesan. “Aku aja belum pernah punya pacar.”
“Ah payaaaaaah! Masa udah 17 taun gini masih belum pernah punya pacar? Takut nembaknya yaaaaa?” Isengnya Ale mulai keluar.
“Ah, kayak situ udah pernah pacaran ajaaa! Belom kan?” JLEB. Tebakan jituuu. Ale sendiri juga memang belum pernah punya pacar. Jadi yaaaa.. gitu deh..
“Eh, ke situ yuk?” Ale mengajak Bima ke lapangan Bola di belakang rumah sakit.
Ketika sampai, Ale langsung berlari-lari sepuasnya. Ada keinginan dari diri Bima untuk ikut bermain bersama Ale. Tapi dia nggak bisa.
“Aku.. nggak bisa.” Ujar Bima begitu saja dan langsung pergi meninggalkan Ale.
“BIMAAAAA! Kalo kamu pergi berarti kamu pengecut! Katanya mau sembuh? Tapi kayak ginian aja nggak berani?? Gimana mau maju HAH?? Penakut kamu!” ujar Ale dengan emosi.
Dari dalam hati Bima tergerak untuk berhenti dan bermain bersama Ale. Tapi.. Bima nggak bisa.
Mulai dari hari itu, Ale dan Bima nggak pernah bareng-bareng lagi. kayaknya itu semua tinggal kenangan. Besok Ale mau operasi dan Ale ingin Bima ada di deket dia. Tapi kayaknya nggak bisa.
Pagi ini Ale bangun lebih pagi. Ia ingin melanjutkan membaca buku yang kemarin ia pinjam di perpustakaan. Lalu tiba-tiba sebuah pesawat meluncur di depannya. Ale melongok keluar jendela.
“ALEE!!” itu Bima! Ale sangat senang bisa melihat Bima lagi. lalu bima bersorak, “Karena kamu sekarang aku bisa sembuh, kerena kamu juga aku jadi sadar kalo semua masalah pasti ada jawabannya! Hari ini aku sembuh Le! Aku mau pulang ke rumah! Dan aku pasti akan balik lagi kesini untuk ngeliat kamu sembuh! Besok aku tunggu pasti datang!”
Bima berhasil bikin Ale senang. Ale jadi semangat lagi untuk operasi besok. “Iya! Aku tunggu kamu besok!!” Ale tersenyum lalu meraih pesawat bikinannya Bima. Ternyata di dalamnya ada tulisan, ‘maaf yaa, burung kertas aku nggak bisa terbang. Jadi pake pesawat aja ya biar gampang? Hehehe. Bima.’ Dasar Bima!
Gara-gara bima tadi, Ale jadi semangat lagi untuk ngelanjutin bikin burung kertasnya yang udah ada 97. Karena kondisi Ale semakin lemah, kemampuan Ale bikin burung kertasnya juga terbatas. Nggak heran kadang-kadang di burung kertasnya ada tetesan darah yang keluar dari hidung Ale.
Di saat Ale selesai bikin burung kertas yang ke 99, Ale jatuh pingsan begitu saja. Untung Ibu segera melihat, jadi cepat di atasi. Nampaknya operasi Ale dipercepat jadi mala mini.
Mengetahui operasi Ale di percepat, Bima segera bergegas ke rumah sakit secepat mungkin ia bisa. Sampai di rumah sakit, Bima segera menghampiri Ale di kamarnya.
“Ale..” Ucap Bima lirih.
“Bima.. aku nggak mampu bikin seratus burung kertas. Cuma ada 99, Bim. Aku.. aku ttakut nggak bisa sembuh Bim,” Air mata Ale mulai menetes.
“Kamu ngomong apa sih Le? Kamu pasti sembuh! Kamu harus berjuang Le! Disini ada aku, orang tua kamu dan anak-anak yang sayang sama kamu ingin kemu sembuh Le!” Ujar Bima. “Kamu mau kan janji sama aku kamu bakal sembuh?”
“Aku.. mau.” Bima menyantelkan kelingkingnya kepada keligking Ale.
“Janji seorang sahabat harus ditepati loh Le,” Bima berusaha menghibur Ale.
“Kamu sahabat paling baik yang pernah aku punya Bim,”
“Kamu juga Le,”
Setelah itu Ale tidak sadarkan diri. Operasi Ale segera dimulai. Berjam-jam Bima dan orang tua Ale menunggu. Cemas akan kondisi Ale. Karena mereka pun tau, penyakit Leukimia itu sukar disembukan. Bahkan nyaris tidak ada yang selamat. Tapi mereka berusaha berpositive thinking.
Bima meminta izin kepada orang tua Ale untuk mengunjungi kamar Ale. Bima meletakkan sesuatu di meja Ale. “kamu salah Le, burung kertas kamu ada seratus.” Ujar Bima. Sambil kembali menatap burung kertas buatan Ale yang diberikan Ale kepadanya pada saat mereka pertama bertemu. Bima pun kembali ke ruang Ale di operasi.
Akhirnya dokter keluar. semua yang menunggu langsung berdiri menyadari kehadiran sang dokter. Ibu menatap dokter penuh harap.
“Ini sungguh keajaiban, virus di tubuh Alegra hilang begitu saja! Saya tidak tau bagaimana ini bisa terjadi, tapi mungkin tuhan masih ingin Alegra hidup bersama orang-orang yang ia cintai. Alegra masih hidup. Sekarang kondisinya sudah stabil. Dia sedang tidur.”
Tangis bahagia membahana dimana-mana. Bima pun menangis bahagia ketika mengetahui sahabat terbaiknya masih hidup dan sembuh dari penyakitnya.
Ketika Ale sudah terbangun, Bima langsung memeluk sahabatnya itu.
“Aku masih nggak percaya Bim! Virus ditubuh aku ilang begitu aja? Ini sungguh ajaib! Doa-ku terkabul! Padahal burung kertasku hanya ada 99!” kata Ale antusias.
“Burung kertas kamu ada 100 Le..” ujar Bima sambil tersenyum.
“Apa?”
“Burung kertasnya ada seratus. Itung aja.”
Ale menghitung burung kertasnya. Dan benar saja, itu ada 100! “berarti karena 100burung kertas ini, permintaanku terkabul!”
“Sebenarnya, bukan karena burung kertasnya.. tapi karena usaha kamu ingin tetap hidup di dunia ini Le.” Ujar Bima sambil tersenyum.
“Iya. Karena janji pada seorang sahabat juga harus ditepati. Iya kan?” sahut Ale lagi. Ale dan Bima sama-sama tersenyum.
Hari ini Ale pulang. Meninggalkan rumah keduanya atau rumah sakit ini. Meninggalkan Ibu Irla, Meninggalkan anak-anak yang suka dibacakannya cerita, Mala dan Alif, nggak lupa si miss cablak Namira, dan masih banyak lagi orang-orang yang sayang sama Ale.
Ale juga berjanji ia akan tetap membacakan cerita untuk anak-anak di rumah sakit ini.
Ale akan menikmati hidupnya yang sekarang. Walau ia tau hidupnya nggak akan selalu bahagia. Masalah pasti ada. Tapi Ale akan berusaha untuk menyikapinya dengan senyuman dan kesabaran. Tentu itu nggak akan susah kalau ada orang orang yang sayang sama Ale dan sahabat yang baik banget kayak Bima! Pasti hidup Ale bakal seru banget deh!
--Jangan pernah takut untuk melangkah. Jangan pernah lelah untuk berusaha. Hidup bukan Cuma kesenangan, tapi juga cobaan. Keep smile!
Alegra Maghfira Ranissja
when you wish earnestly. and by trying to hard. not only the happiness will come. but also a valuable lesson, and without you knowing it, you'll also get a miracle
--Karima Putri Rahmadina
Sabtu, 13 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)